
INSTITUTE for Essential Services Reform (IESR) menilai para pemangku kepentingan di Asia Tenggara masih setengah hati dalam melakukan transisi energi di kawasan ini. Hal itu tercermin dalam hasil Pertemuan Menteri Energi ASEAN (ASEAN Ministers on Energy Meeting) atau AMEM ke-42 di Laos, 26 September 2024.
Dalam hal itu, AMEM mendorong pengembangan energi terbarukan tetapi masih mempertahankan peran batu bara dan gas dalam transisi energi melalui penggunaan teknologi penyimpanan dan penangkapan emisi (CCS/CCUS).
IESR berpandangan bahwa ASEAN seharusnya fokus pada upaya mempercepat transisi energi ke energi terbarukan di kawasan. Hal itu untuk memitigasi naiknya suhu bumi akibat emisi dari pembakaran energi fosil.
Baca juga : Sri Lanka Siap Hentikan Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara
Langkah pengembangan energi terbarukan dinilai akan berpengaruh signifikan terhadap pencapaian target iklim global dibandingkan mengandalkan teknologi batu bara bersih (clean coal technology/CCT).
AMEM dalam laporannya juga mendukung perdagangan listrik lintas batas melalui ASEAN Power Grid (APG) untuk memperkuat keamanan energi dan ketahanan kawasan. IESR menyambut positif hal tersebut dengan catatan sumber listrik yang digunakan harus berasal dari energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan upaya memperkuat konektivitas energi di kawasan perlu diimbangi dengan komitmen yang jelas. Penetapan target bauran energi terbarukan juga harus signifikan untuk dekarbonisasi sektor kelistrikan.
Baca juga : Pemerintah Maksimalkan Pemanfaatan Biomassa demi Net Zero Emission 2060
Hingga 2022, kontribusi energi terbarukan terhadap total pasokan energi primer (total primary energy supply/TPES) ASEAN baru 15,6%. Peningkatannya hanya 0,2% dari 2021. Data tersebut menunjukkan bahwa negara anggota ASEAN harus bekerja lebih keras untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan.
Fabby mengatkan ASEAN seharusnya lebih ambisius mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi energi terbarukan seperti energi surya, angin, panas bumi, dan biomassa ke dalam sistem energinya.
“Kerja sama lintas negara dalam APG yang perlu memasukan akselarasi pengembangan pasokan listrik dari energi terbarukan, selain juga peningkatan integrasi pembangkit energi terbarukan dalam jaringan kelistrikan regional dan di setiap AMS,” katanya dalam keterangan resmi, Minggu (6/10).
Baca juga : Mempertahankan Batu Bara Dinilai Tingkatkan Risiko Kerugian Ekonomi di ASEAN
Selain itu, pertemuan tersebut juga membahas peran batu bara yang masih mendominasi bauran energi ASEAN. Menurut IESR, ASEAN memperlihatkan keengganan untuk segera beralih dari energi fosil dengan sikapnya yang mengapresiasi adopsi teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon, seperti Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).
IESR menilai bahwa fokus ASEAN seharusnya lebih diarahkan pada akselerasi pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang sudah terbukti lebih efektif dan ekonomis.
Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi menyoroti teknologi CCS dan CCUS yang secara keekonomiannya masih mahal dengan biaya investasi yang tinggi. Biaya pengoperasiaan CCS akan semakin mahal jika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah. Selain itu, teknologi CCS/CCUS belum teruji kehandalannya dalam menurunkan emisi, khususnya di Indonesia.
Baca juga : Peringati Hari Bumi, IESR Gelar Festival Energi Terbarukan
“Negara di kawasan ASEAN sebaiknya memusatkan upayanya untuk mendorong investasi yang tujuannya menurunkan emisi secara signifikan dan memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang, seperti dengan pemanfaatan energi terbarukan,” kata Arief.
“Tren penurunan biaya pembangkitan energi terbarukan menunjukkan teknologi energi terbarukan semakin kompetitif. Sementara investasi pada CCT justru akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan memperbesar risiko aset mangkrak (stranded assets),” imbuhnya.
Studi IESR mencatat bahwa penggunaan CCS memerlukan investasi yang sangat besar, yaitu sekitar US$3 miliar untuk mengurangi 25-33 juta ton CO2 dalam kurun waktu 10-15 tahun. Jika dibandingkan dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Indonesia yang mencapai 44,6 Gigawatt pada 2022, penggunaan CCS akan menghabiskan biaya lebih banyak dengan nilai manfaat (return value) yang minim.
Selain itu, biaya CCS enam kali lebih mahal dibandingkan pembangkitan listrik dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang didukung oleh teknologi penyimpanan energi. (H-2)